Hasil untuk category "PPh Pasal 4 ayat 2"

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Berdasarkan PP 55 Tahun 2022

Berikut ini adalah peraturan terkait perlakukan perpajakan untuk UMKM di Indonesia. Di muat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022

Pasal 56

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
(2) Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
(3) Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(4) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.


Pasal 57

(1) Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan:
a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak badan;
b. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4);
c. Wajib Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; atau
Pasal 75 dan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus beserta perubahan atau penggantinya; dan
d. Wajib Pajak bentuk usaha tetap.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


Pasal 58

(1) Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-istri yang:
a. menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
b. istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri.


Pasal 59

(1) Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:
7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
(2) Penghitungan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak bersangkutan terdaftar;
bagi Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang yang terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Peraturan Pemerintah ini berlaku.


Pasal 60

(1) Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.
(3) Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
(4) Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
(5) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dikalikan dengan:
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b; atau
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memperhitungkan bagian peredaran bruto dari usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a.


Pasal 61 

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan.
(2) Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak badan.


Pasal 62

(1) Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5) dilunasi dengan cara:
disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan dalam hal Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak.
(2) Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan.
(3) Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


Pasal 63

(1) Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

...

Pajak Bunga Deposito

Bunga Deposito Objek Pajak?

Deposito merupakan salah satu bentuk produk simpanan bank yang dapatdicairkan pada jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini bermacam-macam ada yang satu bulan hingga 24 bulan. Dari deposito tersebut kita akan mendapat penghasilan berupa bunga deposito. Pembayaran bunga deposito ini dapat dilakukan tiap bulan atau setelah jatuh tempo sesuai dengan jangka waktunya.

Bila kita lihat dari sisi perpajakannya, bunga deposito termasuk ke dalam penghasilan yang dikenakan PPh Final. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a UU Pajak Penghasilan. Oleh karenanya, atas penghasilan yang termasuk objek PPh Final maka penghasilannya tidak digabungkan dengan  perhitungan pajak penghasilan tahunan dan tidak dapat dikreditkan.

 

Tarif Pajak Bunga Deposito

Merujuk pada Pasal 5 ayat 2  huruf c PMK Nomor 212/PMK03/2018, tarif pajak untuk bunga deposito adalah sebesar 20% dari jumlah bruto wajib pajak. Namun pemotongan PPh Final tidak dilakukan terhadap penghasilan dari deposito sampai dengan Rp7,5 juta.  Artinya pajak bunga deposito, hanya dikenakan apabila penghasilan deposito lebih dari Rp7,5 juta.

Perhatikan contoh berikut.

Bapak Andi menabung dalam bentuk deposito di Bank ABC sebesar Rp 300 juta dengan tingkat bunga 10% per tahun. Adanya deposito tersebut, Bapak Andi menerima bunga setiap bulan sebesar Rp. 2.500.000 maka perhitungan pajaknya adalah:

atas transaksi tersebut, maka Bank ABC harus memotong PPh Final Pasal 4 Ayat 2 sebesar 20% sesuai aturan PMK Nomor 212/PMK03/2018 Pasal 5 ayat 2 huruf c bahwa “tarif 20%  dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap” sehingga perhitungannya sebagai berikut:

 20% x Rp2.500.000 = Rp.500.000

 

Sebagai informasi, wajib pajak wajib untuk melaporkan deposito tersebut dalam SPT Tahunannya yang masuk ke dalam komponen harta. Adapun jumlah yang dilaporkan adalah jumlah deposito yang wajib pajak miliki pada akhir tahun pajak. Jika wajib pajak memdapatkan penghasilan dari deposito berupa bunga deposito, wajib pajak dapat melaporkan penghasilan tersebut ke dalam kolom “Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final/atau Bersifat Final”.

 

Semoga dapat dipahami.

 

...

Aspek Pajak Transaksi Sewa Kantor

Transakasi sewa kantor merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 

“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: 

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; …”

Terkait dengan tarif, dasar pengenaan pajak (DPP), kewajiban pihak pemotong, dan teknis lainnya di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 Tentang PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Tarif 10% dari jumlah bruto sewa kantor. (Pasal 4 ayat (1) PP 34/2017)

Jumlah bruto yang di maksud adalah semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. (Pasal 4 ayat (2) PP 34/2017)

PPh Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% atas transaksi sewa kantor di potong oleh pihak penyewa.

Pemotong pajak meliputi: 

badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan

Dalam hal Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. (Pasal 3 PP 34/2017)

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Pajak Penghasilan
  • PP Nomor 34 Tahun 2017
...

Perbedaan Usaha Jasa Konstruksi PPh 4 ayat 2 dan Jasa Konstruksi PPh Pasal 23

Pak, kalau perusahaan tidak memiliki SIUJK/SBU tapi mendapatkan pekerjaan jasa konstruksi perbaikan gedung apakah tetap berlaku tarif pph final pasal 4 ayat 2 atau menggunakan tarif umum? Mohon dibantu penjelasannya. Terima kasih. Andrean - Tangerang

Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan bapak andrean melalui media online chatpajak.com

Jika melihat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, jasa konstruksi akan di temui dalam 2 pasal yang berbeda. Pertama ada pada pasal 4 ayat 2 huruf d yaitu Usaha Jasa Konstruksi yang bersifat final, dan yang kedua ada pada pasal 23 ayat 1 huruf c yaitu jasa konstruksi yang bersifat tidak final. Pembahasan lebih lanjut terkait usaha jasa kontruksi pph pasal 4 ayat 2 di atur dalam PP 9/2022 sementara jasa konstruksi pph pasal 23 diatur dalam PMK 141/2015.

Sebenarnya ada hal mendasar yang membedakan jasa konstruksi dari dua pasal tersebut (PPh pasal 4 ayat 2 vs PPh pasal 23). Pada pasal 4 ayat 2 di sebutkan "Usaha Jasa Konstruksi", sementara dalam pasal 23 disebutkan “Jasa Konstruksi”. Artinya terdapat posisi legalitas usaha atau klasifikasi lapangan usaha yang akan mempengaruhi perlakuan perpajakannya.

Menjawab pertanyaan bapak andrean, jika yang di maksud tidak memiliki SIUJK/SBU dalam arti perusahaan bapak mendapatkan pekerjaan jasa konstruksi perbaikan gedung sementara perusahaan bukan merupakan wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi atau wajib pajak tidak mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi maka atas pekerjaan jasa konstruksi tersebut dipotong pph pasal 23. Adapun tarif pajak atas pekerjaan jasa konstruksi tersebut adalah sebesar 2%. Semoga terjawab. 

Dasar Hukum:  

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015
  • Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022

 

Topik: Jasa konstruksi, pph pasal 4 ayat 2, pph pasal 23

 

...

Orang pribadi menyewa ruko apakah harus memotong pph 4 ayat 2

Saya berencana mau menyewa ruko untuk usaha kecil-kecilan. Ada saudara saya yang bilang harus bayar pajak 10%. Kalau nilai sewa 30 juta per tahun. Jadi saya harus bayar 30 juta ke penyewa + 3 juta untuk pajak ya? Mohon arahannya mas. - Aldi 

Sebelumnya kami ucapkan terima kasih karena sudah bertanya melalui media online chatpajak.com. Untuk menjawab pertanyaan di atas saya akan memberikan penjelasan sedikit terkait dasar hukum pajak atas transaksi sewa ruko atau sewa tanah dan atau bangunan. 

Ketentuan dasar terkait pajak atas transaksi sewa tanah dan atau bangunan di atur di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (2) s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Sementara pengaturan lebih lanjut terkait dasar pengenaan, tarif, kewajiban pihak pemotong, dan lain-lain, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017.

Pertama yang harus di pahami bahwa tidak semua orang pribadi yang menyewa ruko berhak memotong pajak (PPh Pasal 4 ayat 2). Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 (PP 34/2017) pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa yang bisa memotong adalah “orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan”. Artinya jika bapak Aldi tidak memiliki surat keterangan penunjukan tersebut, maka tidak berhak untuk melakukan pemotongan pajak, karena pajak tersebut akan dibayar sendiri oleh yang menyewakan. Hal tersebut di jelaskan dalam pasal 3 ayat (3), “dalam hal Penyewa bukan sebagai pemotong pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan”.

Kemudian dalam pasal 4 PP 34/2017 dijelaskan tarif pajak atas sewa tanah dan bangunan adalah 10% dari nilai bruto persewaan tanah dan atau bangunan. 

Terkait berapa yang harus bapak Aldi bayar ke pihak yang menyewakan, hal tersebut tergantung kesepakatan atau kontrak perjanjian sewanya. Jika pihak yang menyewakan meminta harga sewa senilai 30 juta tanpa ada penjelasan lebih lanjut terkait perpajakan, maka bapak Aldi cukup membayar sewa senilai 30 juta rupiah. Karena pajak atas sewa ruko tersebut akan di bayar sendiri oleh pihak yang menyewakan. Semoga menjawab.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
  • Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017

 

Topik: PPh Pasal 4 Ayat 2, PP 34/2017, Pajak Sewa Ruko

 

...

Bagaimana pajak UMKM yang melakukan pekerjaan jasa konstruksi

Perusahaan kami memiliki SUKET memenuhi kriteria sebagai wajib pajak berdasarkan PP 23/2018 tapi mendapatkan projek membangun rumah, jadi perusahaan harusnya dipotong PPh Final dengan tarif 0,5% atau dengan tarif PPh final Jasa Konstruksi?

Wajib pajak yang memiliki surat keterangan memenuhi kriteria sebagai wajib pajak berdasarkan PP 23/2018 bukan berarti setiap pendapatannya harus dipotong PPh final dengan tarif 0,5%. Sebagaimana diatur dalam PP 55/2022 pasal 56 bahwa tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai pajak penghasilan yang bersifat final diantaranya sebagai berikut: 

c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri

Karena tarif pajak penghasilan atas jasa konstruksi sudah diatur tersendiri, dengan demikian walaupun perusahaan memiliki suket PP 23/2018, maka atas penghasilan dari pekerjaan jasa konstruksi harus dipotong dengan tarif PPh final jasa konstruksi. Adapun tarif PPh final jasa konstruksi harus dilihat dulu dari klasifikasi wajib pajaknya. Selengkapnya terkait tarif PPh final jasa konstruksi dalam dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2022.

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018
  • Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022
  • Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022

Topik: Jasa Konstruksi, PP 23/2018, PP 9/2022, PP 55/2022 

 

...